Setelah terpecah selama beberapa tahun terakhir, dua organisasi Betawi akhirnya sepakat rujuk. Bahkan, Badan Musyawarah (Bamus) Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982 sepakat melebur ke dalam Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi.
Hal tersebut ditandai dengan deklarasi Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi di Balai Agung, Kompleks Balai Kota DKI Jakarta, pada Kamis (22/12). Kegiatan turut dihadiri Ketua Umum Bamus Betawi, Riano P. Ahmad, dan Ketua Umum Bamus Suku Betawi 1982, Zainuddin MH alias Oding.
"Hari ini menjadi awal dari tonggak sejarah masyarakat Betawi. Bukan saja dikarenakan adanya penyatuan, jauh ke depan, bahkan hari ini, kita buat 'akad baru' untuk keberlangsungan organisasi Betawi, budaya Betawi, bahkan masyarakat Betawi dengan sistem, bentuk yang terintegrasikan dengan nilai kebetawian yang lebih baru," tutur Ketua Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi, Marullah Matali, dalam sambutannya.
Marullah melanjutkan, deklarasi hanyalah awal dari tugas dan tanggung jawab ke depannya. Sebab, salah satu latar belakang pendirian Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi untuk turut melestarikan budaya Betawi.
"Selepas deklarasi ini, kami mengemban tugas untuk dapat mempertahankan yang selama ini sudah terlaksana sekaligus meneruskan keinginan luhur para tokoh Betawi," kata eks Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta itu. "Dukungan serta bantuan dari Bapak-Ibu semua tentu dapat memudahkan langkah dalam meraih cita-cita kita bersama."
Marullah memastikan pihaknya akan intensif membangun komunikasi serta merumuskan gagasan dan ide demi keberlangsungan organisasi dan masyarakat. Harapannya, kehadiran Majelis Amanah Penyatuan Kaum Betawi memberikan manfaat dan dapat dimaksimalkan sebagai lembaga adat sesuai Pasal 18 UUD 1945 dan Perda 4/2015.
"Kita harus semakin erat, semakin akrab, dan turut andil dalam menyukseskan Jakarta untuk Indonesia," seru Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Budaya ini.
Pada kesempatan sama, Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Beky Mardani, mengapresiasi meleburnya islah dan meleburnya dua Bamus Betawi. Menurutnya, langkah tersebut merupakan bangkitnya kesadaran kolektif masyarakat Betawi untuk menjawab berbagai peluang dan tantangan kontemporer.
"Jakarta yang tidak lagi berstatus ibu kota negara, seperti dituangkan dalam UU IKN, mengharuskan Jakarta di mana kaum Betawi sebagai mukimin awal atau penduduk inti Jakarta harus mereposisikan diri. Momentum perubahan UU 29/2007 harus dijadikan momentum 'tuk melakukan 'akad ulang' kaum Betawi dengan negara. Eksistensi dan peran historis kaum Betawi yang demikian sentral bukan saja harus diakui negara, tetapi juga harus diberi tempat terhormat," urainya.
Beky berpendapat, Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi dapat mengambil peran sebagai pengemban amanah dalam memperjuangkan dan menjawab tantangan yang ada. Apalagi, Jakarta dicanangkan menjadi kota global sekalipun sudah bukan sentra pemerintahan.
"Kota global menuntut partisipasi aktif warganya. Oleh karena itu, kaum Betawi menjadi bagian yang terintegral, inheren, tidak terpisahkan," ucapnya.
"Nilai-nilai keterbukaan, toleran, dan demokratis kaum Betawi bisa menyumbang banyak untuk mewujudkan visi Jakarta kota global. Nilai-nilai budaya Betawi juga akan mampu menjadi perekat nilai-nilai budaya yang masuk, sedangkan habitus keagamisan kaum Betawi menjadi benteng dari gempuran budaya global," tandas Beky.